Hati Bapa – Anak yang Hilang bagian 1

Bapa kita di Surga tidaklah seperti bapa dan ayah yang pernah kita temui di dunia ini

Dalam Alkitab, ada banyak gambaran dan perspektif yang berbeda yang menggambarkan siapa Allah itu. Dia adalah Tuhan, Allah Mahakuasa. Dia itu kudus, kudus, kudus. Dia adalah api yang menghanguskan. Dia pengasih dan penyayang. Kasih setia-Nya kekal selamanya. Dia adalah pahlawan yang perkasa. Dia adalah sosok yang menderita dan menangis. Dia adalah Pencipta dari segala sesuatu. Tetapi gambar yang Tuhan Yesus terus tampilkan mengenai Allah adalah Allah sebagai Bapa. Dalam seluruh komunikasi-Nya dengan Allah, Tuhan Yesus memanggil Dia sebagai Bapa. Tuhan Yesus berinteraksi dengan Allah seakan-akan Allah itu adalah Bapa-Nya. Tuhan Yesus sering berbicara mengenai Allah Bapa kepada murid-murid-Nya. Ketika Tuhan Yesus mengajar para murid mengenai doa, atau tentang bagaimana caranya berbicara kepada Allah, Dia memerintahkan kita untuk berdoa seperti ini, “Bapa kami yang ada di surga” (Matius 6:9).

Karena Tuhan Yesus menekankan aspek hati bapa ini dan mendorong kita untuk berhubungan dengan Allah sebagai Bapa kita, sangatlah penting untuk kita mengerti akan hal ini. Tapi kita harus memahami bahwa Allah tidaklah seperti ayah manapun di dunia ini. Untuk membantu kita memahami seperti apakah Bapa surgawi kita sesungguhnya, Tuhan Yesus menceritakan kisah yang menakjubkan tentang Anak yang Hilang. Tuhan Yesus mengatakan bahwa jika engkau benar-benar ingin memahami siapa Allah itu, jika engkau ingin mendapatkan pewahyuan dari kasih-Nya yang teramat besar bagi kita, maka lihatlah sosok bapa yang dideskripsikan dalam perumpamaan ini. Kita membutuhkan pewahyuan ini untuk meresap di dalam benak dan pikiran kita. Kita membutuhkan pewahyuan ini untuk membantu kita memahami Firman Tuhan dan bagaimana kita dapat mewujudkan Kerajaan-Nya di dunia ini. Kita membutuhkan pewahyuan ini untuk membentuk identitas kita. Sembari engkau membaca perumpamaan ini, resapi dan terimalah pewahyuan ini – bahwa bapa yang ada dalam perumpamaan ini menunjukkan kepada kita seperti apa Allah itu sesungguhnya!

  • Lukas 15:11-24- Yesus berkata lagi: “Ada seorang mempunyai dua anak laki-laki. 12 Kata yang bungsu kepada ayahnya: Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku. Lalu ayahnya membagi-bagikan harta kekayaan itu di antara mereka. 13 Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya. 14 Setelah dihabiskannya semuanya, timbullah bencana kelaparan di dalam negeri itu dan iapun mulai melarat. 15 Lalu ia pergi dan bekerja pada seorang majikan di negeri itu. Orang itu menyuruhnya ke ladang untuk menjaga babinya. 16 Lalu ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi itu, tetapi tidak seorangpun yang memberikannya kepadanya. 17 Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. 18 Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, 19 aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa. 20 Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia. 21 Kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa. 22 Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. 23 Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersukacita. 24 Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersukaria.

Si anak ingin menjadi tuan atas hidupnya sendiri

Perumpamaan ini dimulai dengan seorang ayah yang memiliki dua anak laki-laki. Sang bapa nampaknya lumayan kaya, dia memiliki tanah dan pelayan yang sangat banyak. Di zaman Perjanjian Baru, ayah adalah tuan atas rumah tangganya. Perumpamaan ini menggambarkan rahmat dan anugerah dari sang bapa, tetapi kita juga perlu menyadari bahwa dia adalah tuan atas rumahnya. Dia sudah semestinya dihormati dan ditaati. Kita perlu membayangkan rumah bapa sebagai suatu lingkungan yang sempurna. Itu adalah tempat yang aman. Semua kebutuhan dari si anak telah tersedia. Mereka dikasihi dan dipelihara. Ini adalah sebuah gambaran mengenai keadaan Adam dan Hawa di Taman Eden.

Tetapi, sama seperti di Taman Eden, bapa adalah tuan dari rumah tersebut. Dia adalah bosnya, dan kita sebagai anak-anak Allah perlu menerima itu. Tapi seperti yang kita lihat, anak yang lebih muda, sama seperti Adam dan Hawa, tidak merasa puas untuk berada di bawah otoritas orang lain. Dia ingin menjalankan hidupnya sendiri. Dia ingin bebas dan lepas dari otoritas. Dia ingin menjadi tuan atas hidupnya. Sama seperti Adam dan Hawa, sang anak tidak puas untuk menjadi nomer dua. Dia ingin menjadi bos, dia ingin menjadi nomer satu.

Kemungkinan besar, sang anak mengalami godaan yang sama seperti yang dialami oleh Adam dan Hawa. Dia mendengarkan suara dari si musuh. Dia meragukan karakter ayahnya. Dia tidak mempercayai ayahnya. Dia berpikir mungkin ayahnya menahan-nahan dan menyimpan sesuatu darinya. Dia berpikir bahwa dia dapat menjalankan hidupnya dengan lebih baik daripada ayahnya. Dia berpikir bahwa dia dapat menggantikan posisi ayahnya sebagai tuan – bahwa dia dapat menjadi seperti Allah. Dia berpikir bahwa seandainya dia memiliki kesempatan untuk membuat keputusan dan mengontrol hidupnya, dia tidak akan mati, melainkan akan menjadi makmur, sejahtera dan hidup (Kejadian 3:4-5).

Sama seperti Adam dan Hawa, dia mendengarkan kebohongan si musuh, menipu dirinya sendiri, dan mengalami konsekuensinya. Masalah akan datang ketika kita menolak Allah dan berpaling dari-Nya. Karena di dalam Tuhan ada kehidupan, jadi ketika kita menolak Allah, kita sebenarnya sedang menolak kehidupan. Kita tidak perlu terkejut dan heran bahwa kita mengalami kesakitan, kematian dan kehancuran ketika kita menolak Allah, karena Dia adalah kehidupan. Kita dapat melihat hal ini saat Adam dan Hawa menolak Allah, dan kita dapat melihat hal ini juga saat sang anak menolak bapanya. Kita sungguh-sungguh tertipu ketika kita menolak Bapa yang Sempurna, ketika kita meninggalkan rumah Bapa dan berpikir bahwa kita dapat menjalankan hidup kita dengan lebih baik dengan cara kita sendiri.

Bapa menolak untuk menghukum mati anaknya

Ketika sang anak meminta setengah dari warisannya, dalam budaya orang Yahudi di abad pertama, dia sesungguhnya sedang berkata bahwa dia berharap ayahnya itu sudah mati. Ini adalah sebuah tindakan yang amat sangat kurang ajar, sangat tidak menghormati, tindakan ini sama seperti dia sedang mengutuki ayahnya. Tindakan sang anak adalah salah satu pelanggaran dari 10 Perintah Allah, yaitu perintah untuk menghormati ayah dan ibu kita:

  • Keluaran 20:12 – Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu.

Pelanggaran atas perintah ini adalah sebuah pelanggaran yang sangat serius dalam budaya umat Yahudi. Menurut hukum Taurat, anak tersebut harus dihukum mati atas tindakan yang sangat kurang ajar tersebut:

  • Keluaran 21:17 – Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya, ia pasti dihukum mati.

Jadi kita langsung bisa melihat bahwa sang ayah memiliki hak untuk menghukum mati anaknya, akan tetapi dia tidak melakukan hal tersebut. Sebaliknya, dia memilih untuk menunjukkan kasih karunia, belas kasihan dan kerendahan hati yang begitu luar biasa dengan menyetujui permintaan anaknya. Di akhir cerita, sang bapa sekali lagi memiliki hak untuk menghukum mati anaknya. Hukum Taurat sekali lagi mengatakan bahwa siapapun yang mempunyai anak laki-laki yang membangkang atau seorang peminum, mereka harus menghukum mati anak tersebut:

  • Ulangan 21:18–21 – “Apabila seseorang mempunyai anak laki-laki yang degil dan membangkang, yang tidak mau mendengarkan perkataan ayahnya dan ibunya, dan walaupun mereka menghajar dia, tidak juga ia mendengarkan mereka, 19 maka haruslah ayahnya dan ibunya memegang dia dan membawa dia keluar kepada para tua-tua kotanya di pintu gerbang tempat kediamannya, 20 dan harus berkata kepada para tua-tua kotanya: Anak kami ini degil dan membangkang, ia tidak mau mendengarkan perkataan kami, ia seorang pelahap dan peminum. 21 Maka haruslah semua orang sekotanya melempari anak itu dengan batu, sehingga ia mati. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu; dan seluruh orang Israel akan mendengar dan menjadi takut.”

Namun sekali lagi, bahkan setelah sang anak kembali ke rumah setelah menjalani kehidupannya yang tak bermoral, sang ayah memilih untuk tidak menghukum mati anaknya. Bahkan, mungkin salah satu alasan mengapa dia berlari untuk mendapati anaknya di akhir cerita adalah agar dia bisa sampai kepada anaknya terlebih dahulu sebelum masyarakat mendapatinya dan membunuhnya terlebih dahulu.

Dua respon dari sang ayah terhadap anaknya yang berdosa ini persis seperti respons Tuhan Yesus kepada wanita yang tertangkap berzinah di Kitab Yohanes 8:1-11. Hukum Taurat mengatakan bahwa dia harus dihukum  mati (sesungguhnya, Hukum Taurat mengatakan bahwa baik pria maupun wanita yang tertangkap melakukan perzinahan harus dihukum mati. Dengan hanya menyebutkan wanita saja, orang-orang Farisi menunjukkan kemunafikan mereka yang hebat, tetapi kita akan membahasnya lain kali). Di sini, karena Dia adalah satu-satunya yang tidak memiliki dosa, Tuhan Yesus memiliki hak untuk mengambil batu dan melemparkannya kepada perempuan tersebut dan menghukum mati dia. Tapi sekali lagi, bertentangan dengan Hukum Taurat, Tuhan Yesus tidak melakukan hal ini dan malahan menunjukkan belas kasihan kepada perempuan itu. Sangatlah menarik bahwa di sini ada 3 contoh dimana Allah bertindak bertentangan dengan Hukum Taurat, khususnya berkenaan dengan hukuman mati. Dia lebih memilih untuk menunjukkan kasih karunia, belas kasihan dan pengampunan. Sangatlah membantu untuk mengingat akan hal ini bagi kita yang tergoda untuk hidup menurut legalisme dan mencoba untuk menjalankan hidup kita menurut setiap huruf yang tertera pada hukum tersebut.

Jadi, sang ayah meresponi pembangkangan anaknya dengan kasih karunia dan kerendahan hati yang luar biasa. Secara budaya, itu seperti sang anak telah meludahi muka ayahnya, lalu sang ayah menghapus ludah tersebut dari wajahnya dan berkata, “Aku akan memberikanmu apa yang engkau minta.” Kemungkinan besar sang ayah harus menjual setengah dari propertinya untuk memenuhi permintaan dari sang anak. Akan sangat tidak lazim bagi seorang Yahudi untuk menjual tanah keluarganya. Hal tersebut juga pasti sangat publik dan nyata bagi masyarakat setempat, jadi pasti ada aspek rasa malu dan penghinaan yang terlibat di dalamnya. Setiap orang di komunitas tersebut pasti menyadari hal ini dan membicarakannya dengan satu sama lain.

Hanya melalui dua ayat dalam perumpamaan ini, kita sudah dibuat terkagum-kagum oleh respons dari bapa. Responsnya sama sekali tidak seperti bapak-bapak lain yang ada di dunia ini. Dan inilah yang Tuhan Yesus berusaha untuk sampaikan kepada kita. Allah Bapa kita tidaklah seperti bapak-bapak yang pernah kita jumpai dan alami di dunia ini. Kedalaman kasihnya, kasih karunianya yang luar biasa, kerendahan hatinya yang begitu dalam, keengganannya dalam membawa penghakiman dan pembalasan dendam atas pelanggaran yang begitu hebatnya sungguh berada di luar pemahaman manusia. Ini bukanlah cinta dari seorang manusia. Kita hanya dapat berdiri dengan takjub, terpana akan kasih yang dahsyat ini.

Kasih mengharuskan adanya kebebasan untuk memilih

Daripada melihat anaknya dihukum mati, sang ayah membiarkan anaknya untuk memiliki kebebasannya. Dia bebas untuk memerintah hidupnya dan mengambil keputusannya sendiri. Hal ini mendemonstrasikan sebuah aspek yang paling penting dari kasih yang sejati. Agar kasih dapat menjadi kasih yang sejati, perlu ada kebebasan untuk memilih. Kita perlu memiliki pilihan untuk memilih Bapa kita dan mengasihi-Nya, atau menolak Bapa kita dan meninggalkan-Nya. Kasih tidak dapat dipaksakan. Kasih tidak dapat dibeli. Kasih tidak dapat dimanipulasi. Kasih harus diberikan secara cuma-cuma. Artinya akan selalu ada resiko bahwa kasih yang kita berikan kepada orang lain bisa saja tidak dibalas dengan kasih.

Inilah mengapa dalam mengikuti Yesus, jiwa-jiwa harus diberikan pilihan yang bebas. Dalam banyak agama, ketika seseorang mencoba untuk meninggalkan agamanya tersebut, mereka seringkali dianiaya, ditolak, bahkan terkadang mereka diserang dan dibunuh. Tapi bagi umat Kristiani, hal ini haruslah berbeda. Jika seseorang memilih untuk menolak Kekristenan, kita seharusnya tidak meresponinya dengan kemarahan, kebencian atau penolakan. Kita harusnya sedih dan menangis. Bagaimana bisa seseorang berpaling dari kebenaran dan menolak Dia yang memberikan hidup-Nya bagi mereka? Kita harus meresponinya dengan kasih dan doa, menjangkau mereka dalam kasih dan dalam doa syafaat sehingga mungkin suatu hari nanti mereka akan bertobat dan kembali. Kita melihat sikap seperti ini dalam respons sang bapa.

Dosa kita lah yang menghukum kita

Jadi sang anak meninggalkan rumah bapanya. Dia meninggalkan lingkungan yang sempurna dan pergi keluar sendiri. Dia sekarang adalah tuan atas hidupnya. Dia tidak lagi berada di bawah otoritas bapa. Tapi dia akan segera belajar bahwa karena dia sudah keluar dari bawah otoritas ayahnya, dia akan segera berada di bawah otoritas yang lain. Ketika kita menolak identitas kita sebagai putra-putri Allah, kita pada akhirnya menjadi hamba dosa (Yohanes 8:34, Roma 6:16-23). Dan dosa adalah atasan yang jauh lebih kejam dan brutal.

Pada awalnya, segala sesuatunya berjalan dengan baik bagi sang anak. Dia mendapatkan teman-teman baru dan bersenang-senang. Tapi dosa selalu memiliki konsekuensinya. Terkadang konsekuensi-konsekuensi tersebut datang dengan segera dan cepat, tapi terkadang konsekuensi-konsekuensi tersebut datang dengan lambat. Tapi ketahuilah hal ini, akan selalu ada konsekuensi ketika kita memilih untuk berdosa, karena sifat dosa dari sananya adalah merusak. Dosa menyakiti kita dan orang-orang di sekitar kita. Inilah alasan mengapa Tuhan membenci dosa karena dosa menghancurkan hidup dari anak-anak-Nya dan Ciptaan-Nya yang baik.

Pada akhirnya, sang anak berakhir di peternakan babi dalam situasi yang begitu buruk sehingga dia bahkan ingin memakan makanan babi. Itu seperti para babi memiliki kehidupan yang lebih baik dari si anak ini sekarang. Tapi bagaimana si anak bisa sampai ke kandang babi? Apakah sang ayah menaruhnya di sana sebagai hukuman dari dosanya? Tidak, anak itulah yang menaruh dirinya sendiri di kandang babi melalui dosanya sendiri. Beberapa orang berpikir bahwa Allah menghukum kita secara otomatis ketika kita berdosa. Akan tetapi jika kita melihat kepada Alkitab, hanya ada sedikit sekali saat dimana Tuhan menghukum dosa dengan cepat. Alkitab sering mendeskripsikan Tuhan sebagai sosok yang panjang sabar (Keluaran 34:6, Bilangan 14:18, Nehemia 9:17, Mazmur 86:15, 103:8, 145:8, Yunus 4:2, Nahum 1:3).

Ketika Alkitab mengulangi sesuatu hal berkali-kali, artinya itu adalah sesuatu yang sangat penting. Kita sungguh-sungguh perlu mengerti akan hal ini jauh di dalam lubuk hati kita bahwa Tuhan…adalah.. Tuhan… yang… panjang… sabar.  Ini bukan berarti bahwa Tuhan tidak pernah marah. Dia seringkali memberikan banyak kesempatan untuk bertobat. Dia memberikan ratusan tahun bagi bangsa dan kelompok orang yang fasik untuk bertobat. Akan tetapi, jika mereka terus-menerus menolak untuk meresponi kesempatan yang Tuhan berikan kepada kita untuk bertobat dan berbalik dari dosa kita, jika kita terus-menerus mengeraskan hati kita, jika kita terus- menerus bersikukuh untuk bekerjasama dengan si musuh untuk mendatangkan kematian dan kehancuran ke dalam dunia ini, maka Tuhan pada akhirnya akan membawa penghakiman-Nya. Tetapi penghakiman dan murka biasanya bukanlah pilihan Allah yang pertama, atau kedua, atau ketiga, atau keempat, dst. Dia sabar terhadap kita, karena Ia menghendaki supaya semua orang bertobat. Inilah yang Rasul Petrus katakan di suratnya:

  • 2 Petrus 3:9 – Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya, sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat.

Di sini kita dapat menangkap hati Allah, dan hal ini tercermin dalam hati bapa yang ada di dalam perumpamaan ini. Dia bukanlah Allah yang pemarah yang senang menghukum kita ketika kita berdosa. Dia adalah Bapa yang maha pengasih, yang memohon kita untuk berhenti menyakiti diri sendiri, berhenti menyakiti orang di sekitar kita, dan berhenti menghancurkan hidup kita, agar kita bertobat dan berbalik kepada-Nya. Dengarkanlah hati Allah yang diserukan oleh nabi Yehezkiel:

  • Yehezkiel 18:23 – Apakah Aku berkenan kepada kematian orang fasik? demikianlah firman Tuhan ALLAH. Bukankah kepada pertobatannya supaya ia hidup?
  • Yehezkiel 18:32 – Sebab Aku tidak berkenan kepada kematian seseorang yang harus ditanggungnya, demikianlah firman Tuhan ALLAH. Oleh sebab itu, bertobatlah, supaya kamu hidup!”
  • Yehezkiel 33:11 – Katakanlah kepada mereka: Demi Aku yang hidup, demikianlah firman Tuhan ALLAH, Aku tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatan orang fasik itu dari kelakuannya supaya ia hidup. Bertobatlah, bertobatlah dari hidupmu yang jahat itu! Mengapakah kamu akan mati, hai kaum Israel?

Dapatkah kita mendengar Tuhan berseru, “Bertobatlah! Bertobatlah dari hidupmu yang jahat itu! Mengapakah kamu akan mati? Bertobat dan hiduplah! Kembalilah kepada-Ku!” Ketika sang anak menolak bapanya, itu sama seperti ketika kita menolak Allah – kita sedang menolak kehidupan. Apakah sayng ayah menaruh anaknya di kandang babi? Tidak. Apakah Allah menghukum anak-Nya dan menaruhnya di kandang babi? Tidak. Itu adalah dosanya sendiri, pilihannya sendirilah yang telah menaruhnya di kandang babi. Allah tidak menghukum sang anak, dosanya sendirilah yang menghukumnya.

Kita perlu memahami hal ini. Berapa kalikah kita pernah mendengar hal seperti ini, “Saya melakukan tindakan asusila, dan sekarang saya terkena HIV/AIDS. Ini adalah hukuman Tuhan atas dosa saya.” Tidak, dosa asusila kita lah yang menghukum kita, bukan Tuhan. Tuhan, sebagai Bapa yang maha pengasih sedang berseru kepada kita, “Anak-Ku, hindarilah tindakan asusila. Jangan melakukannya! Hal tersebut merusak. Hal tersebut mengeraskan hatimu. Hal tersebut merendahkan orang lain. Hal tersebut merusak hubungan. Dan engkau sedang menaruh dirimu dalam resiko terkena penyakit seperti HIV/AIDS. Jangan lakukan hal tersebut.” Tuhan, karena kasih-Nya atas kita, memanggil kita untuk menjauh dari dosa sehingga kita tidak merusak diri kita, merusak orang lain, dan merusak Ciptaan-Nya yang baik. Seringkali, dosa kita lah yang menghukum kita, bukan Tuhan. Kita perlu berhenti menyalahkan Bapa surgawi kita untuk konsekuensi yang kita bawa atas diri kita sendiri.

Sang Bapa tidak menyelamatkan sang anak

Kita juga dapat melihat dari perumpamaan ini bahwa sang ayah tidak mengejar sang anak. Kita memiliki kehendak bebas. Kita bebas memilih untuk mengasihi Tuhan atau menolak-Nya, dan jika kita memilih untuk menolak-Nya, Dia akan menghormati pilihan bebas kita. Dia seringkali mengizinkan kita untuk berjalan menjauh dan mengalami konsekuensi-konsekuensi dari pilihan buruk kita. Allah adalah kasih, tapi ini bukan berarti bahwa kasih-Nya akan mengabaikan dosa dan pembangkangan kita. Justru karena Dia adalah kasih, maka Dia prihatin dengan dosa dan pembangkangan kita, karena kita menghancurkan diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita. Kasih Allah tidak semerta-merta mengesampingkan hal ini dan mengatakan, “Tidak apa-apa, dosamu itu tidak penting, bukan masalah.” Justru karena kasihlah, maka Tuhan berseru kepada kita, “Bertobat dan hiduplah!”

Mungkin kalau mereka memiliki telepon genggam saat itu, sang ayah akan terus-menerus mengirim pesan kasih, memohon anaknya untuk bertobat dan kembali ke rumah. Tapi satu hal yang tidak dilakukan oleh sang bapa adalah mengejar anaknya dan memberdayakan anaknya untuk terus hidup di dalam dosa dan pembangkangan. Dia tidak mencoba untuk menyelamatkan sang anak. Banyak dari kita yang senang bila kita diselamatkan dari konsekuensi pilihan buruk kita. Akan tetapi, walaupun kita senang diselamatkan, tapi itu tidak serta-merta membuat kita memiliki keinginan untuk bertobat, untuk berbalik dari dosa kita, untuk merendahkan diri kita dan berhenti menjadi tuan atas hidup kita. Kecuali seseorang memiliki keinginan untuk bertobat, maka mereka akan bertekad untuk kembali kepada dosa mereka serta keegoisan dan perilaku merusak diri mereka sendiri yang telah membuat mereka masuk dalam masalah pada mulanya.

Di Amerika Utara, mereka memiliki tindakan yang ekstrim yang digunakan bagi orang-orang yang kecanduan narkoba. Pecandu narkoba dapat terlibat dalam perilaku yang sangat merusak diri, yang seringkali melukai diri mereka sendiri serta orang-orang di sekitar mereka. Mereka sangat kecanduan narkoba sehingga mereka rela mencuri dan menipu orang lain, bahkan keluarga mereka sendiri. Sulit bagi mereka untuk mempertahankan pekerjaan mereka. Tapi, ketika mereka berada dalam situasi yang sulit atau kehabisan uang (seperti anak yang hilang) mereka datang kembali kepada anggota keluarga mereka dan meminta uang. Karena rasa belas kasihan, seringkali keluarganya akan menolong mereka dan memberikan uang kepada mereka. Tetapi tidak ada pertobatan dari orang yang kecanduan narkoba ini. Mereka tidak memiliki keinginan untuk merubah hidup mereka. Mereka seringkali kembali kepada dosa dan gaya hidup mereka yang merusak dan siklus ini pun terus berlanjut. Yang dilakukan seluruh anggota keluarga dalam kasus ini adalah memungkinkan atau memberdayakan si pecandu narkoba untuk terus hidup dalam dosa dan merusak dirinya.

Seringkali dalam situasi seperti ini, para konselor menyarankan sebuah tindakan yang drastis yang dinamakan intervensi. Mereka mengumpulkan semua anggota keluarga bersama-sama dan mereka bertemu dengan si pecandu narkoba dan memberitahu dia bahwa mereka tidak akan memberikan uang lagi kepadanya kecuali dia mengikuti program rehabilitasi narkoba. Mereka mengekspresikan kasih dan komitmen mereka kepada orang tersebut, akan tetapi mereka tidak akan membantu si pecandu itu lagi. Si pecandu narkoba dibiarkan untuk mengalami konsekuensi penuh dari dosa mereka, dengan harapan bahwa mereka akan bertobat dan merubah perilaku mereka. Rasul Paulus melakukan sesuatu yang serupa dengan seseorang jemaat dari Gereja Korintus yang berkomitmen kepada percabulan (1 Korintus 5). Rasul Paulus memerintahkan gereja untuk menjauhkan orang itu dari gereja sampai dia bertobat. Jika kita berkomitmen pada dosa-dosa kita, Tuhan juga akan seringkali memperlakukan kita seperti ini. Itu seakan-akan Dia sedang menyerahkan kita kepada Iblis (1 Korintus 5:5), tapi kenyataannya, kitalah yang menolak Tuhan (sumber kehidupan) dan menyerahkan diri kita sendiri kepada Iblis (sumber kematian).

Allah rela untuk menunggu dan membiarkan kita mengalami konsekuensi penuh dari dosa-dosa kita dengan harapan kita akan bertobat, walaupun saya pernah juga melihat beberapa situasi dimana Tuhan, atas dasar hikmat-Nya, turun tangan dan melindungi orang-orang dari konsekuensi-konsekuensi tertentu. Tetapi saya juga pernah melihat bahwa sebagian orang baru mau bertobat dan berbalik kepada Tuhan ketika mereka sudah sampai di titik akhir mereka, ketika mereka sudah kehabisan pilihan, ketika mereka berada di titik terendah mereka, ketika mereka sudah mengalami konsekuensi penuh dari dosa mereka, ketika mereka berada di kandang babi. Kasih Allah bukanlah cinta sentimentil yang lembek yang mengabaikan dosa kita. Kasih Allah adalah kasih yang kuat dan kokoh yang tidak akan berkompromi dengan dosa. Kasih-Nya memanggil kita untuk bertobat, berbalik dari dosa kita, meninggalkan hidup kita yang jahat, dan menyerahkan hidup kita kepada-Nya. Dengan berbalik dan menundukkan diri kita kepada Tuhan, kita kembali kepada sumber dari segala kehidupan, kesembuhan dan pemulihan yang begitu kita rindukan.

Aplikasi

  • Persepsi tentang Allah seperti apakah yang kita miliki yang tidak selaras dengan gambar yang dideskripsikan oleh Tuhan Yesus dalam perumpamaan ini? Dia itu penuh kasih karunia, penyayang, rendah hati, sabar, penuh belas kasihan, setia dan pengasih. Kasih-Nya tidaklah seperti kasih manapun yang ada di dunia ini dan kasih-Nya benar-benar tanpa syarat. Kita harus bertobat atas setiap gambaran atau fikiran yang salah yang kita miliki terhadap Tuhan (2 Korintus 10:5). Marilah meminta pewahyuan yang baru tentang Allah sebagai Bapa surgawi kita yang sempurna dan luar biasa. Biarlah pewahyuan ini meresap ke dalam setiap bagian dari pikiran, hati serta identitas kita.
  • Marilah memiliki gairah untuk hadirat Allah. Segala sesuatunya dimulai dari hubungan kita dengan Allah. Roh-Nya memberikan energi kepada kita dan membantu kita untuk melakukan pelayanan yang Dia panggil kita untuk lakukan. Mari bertekad untuk senantiasa hidup di dalam hadirat-Nya, tunduk kepada-Nya, dan tidak berjalan dalam kemandirian kita serta memilih jalan kita sendiri.
  • Marilah belajar untuk menolak suara si musuh dan melawan godaan yang ada di dalam hidup kita. Marilah kita minta pewahyuan yang baru kepada Allah mengenai betapa merusaknya dosa itu, serta menolong kita untuk mengembangkan rasa benci terhadap dosa.
  • Marilah belajar untuk menolak legalisme dan usaha untuk menjalani hidup kita berdasarkan hukum yang pada hakekatnya berusaha untuk mem-bypass/melompati hubungan kita dengan Tuhan. Mari mengembangkan hubungan kita dengan Bapa surgawi kita dan membantu membawa kehidupan, rahmat, dan pengampunan-Nya kepada kehidupan orang-orang lain.
  • Marilah bertobat atas usaha apapun yang kita lakukan untuk mengendalikan dan memanipulasi kehidupan orang lain, bahkan jika kita mencoba untuk melakukannya demi kebaikan mereka. Kita perlu memberikan kebebasan untuk memilih kepada orang-orang. Menggunakan paksaan dan mengendalikan adalah senjata iblis, bukan Tuhan. Tuhan ingin mengubahkan hati jiwa-jiwa, bukan mengatur-ngatur tindakan lahiriah mereka. Mari kita menggunakan kasih tanpa syarat serta doa syafaat untuk mempengaruhi jiwa-jiwa agar menyerahkan hidup mereka kepada Tuhan.
  • Mari kita belajar untuk panjang sabar. Jika kita memiliki kecenderungan untuk cepat menghakimi dan cepat marah, marilah kita bertobat. Mintalah Tuhan untuk mencurahkan Roh-Nya ke dalam hati kita untuk memberdayakan kita dan mengubahkan kita sehingga kita dapat mencerminkan kesabaran, kasih dan rahmat-Nya kepada orang lain.
  • Marilah kita belajar untuk menganut gaya hidup pertobatan. Saat kita mendapatkan pewahyuan atas dosa dan pembangkangan di dalam hidup kita, area-area dalam hidup kita dimana kita masih menjadi tuan, area-area dalam hidup kita dimana kita telah berpaling menjauh dari Tuhan, mari kita bertobat dan berbalik kepada Dia. Mari kita mendapatkan pewahyuan bahwa saat kita bertobat, kita akan hidup!
%d blogger menyukai ini: